Monday, August 3, 2009

Dasar Orang-orang Ga Punya Jati Diri!


Bingung bukan kepalang saya, ketika seorang senior menceramahi saya tentang jati diri bangsa Indonesia hanya karena baju yang saya pakai. Saya tidak pernah menyangka desain baju saya ini berdampak, atau dapat menjadi topik bahasan yang sungguh luas bahkan sangat dalam.

Ketika itu saya sedang memakai t-shirt dengan desain tokoh fuhrer, Adolf Hitler. Saya memakai t-shirt itu karena pertama t-shirt itu dibelikan oleh ibu (bukannya hendak menyalahkan ibu) dan kedua karena saya sendiri memang senang dengan desainnya serta ukurannya yang pas di tubuh saya.

“Itu gambar siapa?” Tanya sang senior berkepala botak itu.

“Hehehe… ini Asmuni.” Canda saya.

Saya melontarkan jawaban dengan maksud bercanda dan jawaban tersebut sebenarnya saya dapat dari seorang teman yang mengkomentari baju saya, “Wah baju lu ada Asmuni-nya tuh.”

Ternyata eh ternyata, canda saya berujung menjadi sesuatu yang sangat serius dan membuat saya hanya bisa tersenyum simpul.

“Lu kenapa coba pake baju itu? Lu tahu ga artinya apa? Ada lambang Nazi-nya segala lagi.” Tanya senior saya kembali.

Belum sempat saya menjawab bahkan belum terpikir apa jawaban yang akan saya beri, senior saya itu terus memberikan pertanyaan-pertanyaan hingga akhirnya dia menjelaskan tentang jati diri bangsa.

“Sekarang ini anak-anak muda udah keilangan jati dirinya. Kaya lu ini lah. Pake baju yang lo ga tau apa artinya.”

Saya masih dalam posisi terbujur kaku di lantai dan menatap kepala botak-hitamnya yang sedang berada di atas tubuhnya yang dia dudukkan di sebuah kursi. Teman saya pun melakukan hal yang serupa dengan saya: duduk manis serta tertawa seperlunya.

Teman saya ini lebih beruntung dibandingkan saya, pasalnya, dia bukan lah orang yang menjadi objek pembicaraan melainkan saya. Perasaan saya saat itu menjadi tidak keruan karena saya berpikir mengapa bisa sampai sejauh ini. Saya pun merasa dihakimi dan menerima sangkaan-sangkaan yang senior saya lontarkan karena saya sendiri merasa dia memang benar.

Senior saya melanjutkan ceritanya.

“Sekarang anak-anak pada gaya-gayaan makan di Mcd. Padahal, nih Amerika sana yang makan gituan tuh supir-supir truk! Di sini gayanya udah kaya orang kaya aja!”

Wah saya menjadi semakin bingung. Dia tidak bisa dibantahkan apalagi karena saya tidak punya argumen yang kuat untuk menandingi pembicaraannya.

“Lu tahu gak arti tuh lambang buat orang-orang Jerman aslinya!? Itu tuh sama aja kaya lambang palu arit di sini tahu gak! Kalo lu kesana pake baju ini, bisa habis kali!”

Wuih, pembicaraan kok mulai masuk ke topik sejarah kelam Indonesia. Saya lemah terhadap topik ini. Pokoknya sepanjang waktu itu saya lemah lah. Entah lah saya ingin berbicara tapi kok ya tidak bisa. Mana senior saya itu, kalau sudah nyerocos tidak mengenal titik. Terus saja dia berbicara sepanjang nafasnya yang tidak pernah berhenti.

Seorang senior lainnya masuk ke dalam ruangan. Si senior kepala botak itu pun sedikit menghentikan penjelasannya dan menoleh ke arah orang yang baru saja memunculkan dirinya di pintu.

“Coba lu tanya dia tuh yang pernah tinggal di Jerman. Eh, kalo ada orang yang pake baju kaya gini kira-kira di sana nasibnya bakal kaya apa tuh?”

Masih saja dia menyangkutkan saya dalam pertanyaannya.

“Ya paling dihabisin. Orang-orang sana tuh kesel kali ngeliat tuh lambang.” Jelas senior saya yang pernah tinggal di Jerman.

Waduh, jawabannya memperparah posisi saya kala itu, semakin semerawut lah saya jadinya. Ini itu salah, begini begitu salah. Ingin rasanya saya langsung membuka baju di tempat. Tapi karena rumah masih jauh dan penumpang bus akan melihat serta menilai saya, maka saya urungkan niat baik saya itu.

Pembicaraan 15 menit tersebut seakan-akan menjadi pembicaraan 15 jam. Saya lupa kenapa pembicaraan itu akhirnya berakhir, yang pasti setelah itu saya dapat bernafas lega dan saya berpikir berkali-kali ketika hendak memakai t-shirt yang sama. Tidak hanya itu, pembicaraan tersebut juga menyadarkan saya betapa oon-nya saya memakai sesuatu yang tidak saya ketahui apa artinya, apa pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.

T-shirt itu tampaknya tidak pernah saya pakai kembali dan saya tidak tahu dimana keberadaannya saat ini. Mungkin t-shirt tersebut sudah berpindah tangan. Dan resek-nya saya mungkin t-shirt itu sudah dipakai oleh orang-orang yang membutuhkan baju dalam hal ini orang-orang yang kurang mampu. Untuk hal itu saya meminta maaf, karena tidak ada maksud untuk menyerupakan nasib si pemakai baju dengan nasib saya yang habis diceramahi oleh senior saya.

Semenjak itu, setiap saya melihat orang yang memakai baju dengan lambang serupa saya berkata dalam hati, “Dasar orang-orang ga punya jati diri!”

1 comment:

Unknown said...

You are what you wear, zeg!! Visual speaks louder than words....hehehehe...
Kalau gw analisis berdasarkan studi semiotika sosial, apa yang lo kenakan itu merupakan simbol komunikasi yang bisa dimaknakan sebagai representasi dari self-actualization elo, zeg...
Gak banyak dari kita yang aware akan hal itu. Tapi sadar gak sadar our choice of clothes, termasuk model, warna, gaya, motif, dan gambar yang ada pada apa yang lo pake itu sudah melalui proses seleksi personality dan konsep diri yang lo punya mengenai diri lo. Termasuk ya itu, bentuk dari self-actualization elo, zeg...
Bener kata senior lo... Kadang kita gak peduli dengan gambar2 yg tercap di benda yang kita pake (though ketidakpedulian itu muncul dari ketidaktahuan). Padahal gambar-gambar itu merupakan simbol budaya yang memiliki makna dan sejarah bagi suatu bangsa. Kayak yang kita pelajarin di Komunikasi Antar Budaya, zeg... Sebuah simbol memiliki interpretasi yang berbeda-beda di tiap bangsa/suku/negara.

*btw, ini komen sok tau gw... hehehehe. anyway, nice writing. mengingatkan gw akan rubrik slap yang bikin kita sok kritis sosial, tapi abis itu entah bikin kita peka sosial atau nggak... Nah loh, makin ngaco lagi nih. Udah ah, dah malem... hahahaha...