Monday, March 29, 2010

Was-Wes-Wos Kanan-Kiri Ujian!

Saya adalah satu dari seribu milyar orang di dunia ini, yang pernah atau sering menjalani ujian dalam kehidupan. Baik itu ujian tertulis untuk sekolah atau ujian tidak tertulis untuk kehidupan sehari-hari. Capek rasanya bila sedang menjalani masa-masa ujian itu dan saya yakin semua orang juga berpendapat yang sama dan merasakan hal yang sama.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendengar gonjang-ganjing tentang permasalahan ujian. Untuk kali ini ujian yang dimaksud adalah ujian nasional! Jika saya masih duduk di bangku sekolah sudah pasti kata ujian nasional itu adalah kata yang amat sangat membuat saya takut setengah mati. Mungkin jika mau dicari persamaannya dalam kehidupan saya sekarang ini, kata itu akan semenakutkan kata, “Idenya jelek!!!”

Memang benar begitu adanya. Dulu waktu saya masih sekolah, mau itu Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, jika sudah datang waktu untuk EHB dan sejenisnya, wuih bukan main dakdikduknya hatiku ini. Segala macam harus dipersiapkan demi mendapatkan hasil atau nilai yang baik. Belajar tanpa kenal lelah! Belajar… ada kali ½ jam… selebihnya tidur pulas sampai pagi.

Keesokan harinya pasti semua yang dipelajari semalam, hilang tak berbekas. Alhasil saya hanya bisa melongok, menatap ke segala arah—kebanyakan sih ke arah atas seakan-akan saya sedang berpikir padahal tidak!

Itu pada saat saya SD atau SMP. Lain halnya ketika saya duduk di bangku SMA. Kalau waktu saya SMA sih, ujian tidak begitu menakutkan. Pasalnya setiap kali mau ujian, dari kelas satu sampai kelas tiga, pasti saja secara tiba-tiba datang suatu pencerahan.

Kertas-kertas kecil seukuran telapak tangan atau mungkin lebih kecil lagi, berseliweran dari satu tangan ke tangan yang lain. Kertas kecil itu berisi huruf-huruf A, B, C, D ,E. Isinya tidak lain dan tidak bukan adalah jawaban soal ujian—itu lho ujian catur wulan, lupa saya namanya apaan.

Nah semenjak itu, saya sih santai-santai saja kalau sudah mau menjelang pekan ujian. Saya yakin lembaran-lembaran itu akan datang ke tangan saya. Jadi saya tidak perlu belajar lagi, cukup mencontek apa yang ada di tangan saya itu. Hasilnya, ya gak tahu juga saya, karena tidak ada satupun hasil dari ujian yang pernah dibagikan. Tapi yang pasti syukur Alhamdulillah saya selalu berhasil naik kelas, walaupun dengan nilai yaa secukupnya ajalah.

Entah kenapa pencerahan semasa SMA itu semakin meningkat saja. Lama-kelamaan saya dan teman-teman tidak lagi mendapatkan kertas-kertas berisikan lima huruf istimewa, karena kami semua tidak lagi membutuhkan itu. Karena kami pada saat itu, langsung mendapatkan kertas soal dalam bentuk fotocopy! Dan itu datangnya sehari sebelum pelaksanaan ujian.

Malam sebelum pelaksanaan ujian, kami pun belajar dengan giat. Mencocokkan soal dengan jawaban langsung dari buku. Kami mengingat-ingat apa soalnya dan apa jawabannya. Jadi seumpama soal dibolak-balik, diacak-acak urutannya ya tidak masalah tidak seperti sebelumnya.

“Eh ini ada bocoran nih! Lo catet dah, tapi liat-liat dulu. Lo cocokin bener apa engga itu jawaban.” Ucap seorang kawan

“Tenkyu-tenkyu, bentar gua catet dulu jawabannya.” Tanggap yang lainnya.

Tidak ada lagi tuh adegan seperti itu, karena kami memiliki kertas soal yang lengkap dengan kop surat departemen terkait di atasnya. Kalau pada awal-awal kami mesti memastikan dengan cara mengurutkan jawaban dengan soal—apabila sesuai maka lanjut saja kalau tidak mending distop!—nah kalau sudah ada soalnya sih santaaiii…

Saya rasa yang kedua ini lebih baik dari yang pertama. Karena dengan begitu kita atau saya bisa belajar terlebih dahulu. Kalau yang pertama mah, boro-boro belajar! Nyentuh buku aja ogah! Tinggal liat aja ke kertas kecil di tangan, di hapusan, di pulpen atau di mana ada tempat untuk menyelipkan kertas di situ bakal ada kertas bocoran.

Tiba-tiba saja melintas di kepala saya, waktu ketika saya ulangan biologi. Pada saat itu, biologi adalah salah satu dari semua pelajaran IPA yang sulit saya mengerti. Walaupun itu hafalan, tapi tetap saja saya sulit menerimanya. Ya biosforalah, ya monokotillah, ya testoteronlah, dan segala macamnyalah. Karena hal itu pulalah akhirnya saya membuat suatu contekan.

Strateginya seperti ini, bahan-bahan yang kira bakal keluar di ulangan itu, saya catat di buku fisika. Nah pas pada hari H, itu buku fisika saya letakkan di bawah meja. Pada hari H, guru yang matanya tidak pernah berhenti berotasi itu, secara sengaja melihat saya yang sedang menunduk dan melihat ke bawah meja. Dia pun datang menghampiri saya.

“Kamu ngapain? Ayo keluarin bukunya!” Perintah sang guru.

“Ini bu…” Jawab saya sambil mengeluarkan buku fisika saya.

Mungkin si guru siteng juga kali ya, karena ia mendapatkan saya melihat buku fisika bukan buku biologi.

“Ngapain sih kamu??”

“Ini bu, pulpen saya bocor. Saya mo coret-coret di buku ini…”

Dan saya berhasil mengelabui dia. Terus bagaimana dengan hasil ulangan saya? Sepertinya sih sama saja. Gak bagus juga.

Kembali lagi ke masalah ujian. Nah pada saat Ebtanas inilah, kami semua tidak mendapatkan pencerahan kembali. Awalnya sih, katanya ada beberapa orang anak yang berhasil mendapatkan bocoran. Tapi setelah lama ditunggu ternyata mereka semua tertipu. Bukan hanya tertipu soal tapi juga tertipu uang. Kalo enggak salah sih lima juta ilang! Mereka mengeluarkan uang banyak hanya untuk kertas soal ujian tahun lalu.

Mungkin karena hal-hal seperti itulah, saya dan ia selalu menganggap bahwa mimpi yang ceritanya tentang waktu sekolah, apalagi pas ujian adalah salah satu mimpi buruk! Saya sungguh gak mau mengalami masa-masa itu, gak ada enak-enaknya! Padahal ujian yang saya hadapi sekarang itu lebih berat. Belum ditambah dengan bumbu racikan yang membuat ujian itu terasa lebih gurih. Maunya teriak, cuman nanti dibilang cupu! Kalau dipendam malah jadi runyam bikin ketombe di kepala jadi muncul! Weleh-weleh!

Kalau sudah gini, saya berpikir jadi selama ini saya disekolahkan agar saya siap menghadapi ujian di atas kertas, bukan ujian sesungguhnya. Menghadapi ujian yang kemungkinan besar ada bocorannya. Seandainya ujian-ujian kehidupan itu ada bocorannya, saya pasti jadi bisa lihai menghadapi was-was-wos kanan-kirinya.

No comments: