Monday, September 28, 2009

Mencoba Melawak Dengan Setir Lepas…

Tidak semua orang pandai melawak, jangan kan “pandai melawak”, “bisa melawak” pun menurut saya tidak banyak orang yang bisa. Apa cuman saya saja ya yang berpikiran seperti itu, hanya karena saya tidak bisa melawak.

Saya rasa iya… memang itu salah satu alasan kenapa saya mengemukakan pernyataan itu. Tapi saya yakin tidak hanya saya yang berpendapat seperti itu. Saya yakin orang lain juga dapat menyetujuinya, karena pendapat saya itu pasti ada benarnya juga dong, tidak salah seratus persen. Buktinya ya saya sendiri ini dan ada beberapa teman juga sih yang sepengetahuan saya sukar untuk bisa melawak.

Susah… susah sekali saya melawak, yang ada kalau saya mencoba melawak, orang-orang di sekitar saya hanya terdiam dan terbengong melihat ke arah saya. Garing kalau orang-orang bilang. Pernah saya mencoba melawak tapi hasilnya... ya seperti yang saya tuliskan tadi. Teman saya malah berkata sambil terbingung-bingung, “Ha?? See…riuss… lu….?...?” Tapi walaupun begitu saya masih bisa bersyukur, pasalnya ia masih suka tertawa bila saya memberikan lawakan-lawakan garing kepadanya.

Ada beberapa teman yang berkata kepada saya bahwa, kalau saya sedang melawak dengan sedang serius tidak ada bedanya, mimik muka saya selalu saja serius. Mungkin karena dahulu, ketika SMA saya lebih sering mengernyit ketimbang tersenyum, jadinya ya kebawa-bawa sampai kapan pun jua.

Saya berpikir kalau saya melawak dengan muka serius adalah suatu hal yang lumrah, karena setiap orang pasti memiliki ciri lawaknya sendiri. Namun, ternyata eh ternyata ciri lawak yang berusaha saya tonjolkan ini sama sekali tidak membantu saya untuk sukses melawak. Bahkan yang terjadi adalah sebalik, gagal maning-gagal maning dan lebih parah lagi gatot alias gagal total.

Bicara soal melawak saya jadi teringat dengan bulan puasa kemarin. Sepanjang bulan puasa kemarin, otak saya dan mata saya penuh karena dijejali dengan berbagai tayangan lawak. Baru pas lebaran saja, acara lawak itu sedikit teralihkan karena kehadiran tayangan Live Concert-nya Michael Jackson. Mulai dari sahur hingga berbuka, semua isi tayangan di teve, melulu menyajikan tayangan ketawa-ketiwi. Beda dengan beberapa tahun yang lalu, saat Bapak-Yang-Memiliki-Nama-Sangat-Arab-Sekali menghiasi layar kaca.

Tapi kalau boleh saya jujur, tayangan-tayangan lawak yang ada pada saat sahur itu membuat saya merasa miris. Saya rasa sih tayangan itu tidak pada tempatnya dan tidak membuat saya tertawa terbahak-bahak, selain masih merasa ngantuk juga karena lawakan tersebut tidak masuk di kepala saya. Wah, apa jangan-jangan saya sudah menjadi bapak-bapak dewasa yang konservatif ya?

Mungkin lebih baik saya jelaskan saja alasannya.

Pertama, lawakannya itu hanya menyuguhkan pelawak-pelawak saling memukul satu sama lain. Saling menghancurkan property yang ada. Saling mendorong hingga lawan mainnya jumpalitan teu pararuguh. Kalau orang bule bilang lawakannya ini lawakan slapstick. Slap sama dengan tampar, stick sama dengan kayu, jadinya lawakan tampar-kayu.

Lawakan model itu, sangat dilarang oleh kepala kelompok saya di kantor. Cheap, Corky atau Corny kata dia... atawa Crunchy ya, lupa saya. Yang pasti ide orang-orang jatuh karena satu atau dua perempuan ditolak oleh dia dan harus diganti. Alhasil karena kemampuan lawak saya di bawah rata-rata, akhirnya treatment lawak langsung diserahkeun kepada bapak sutradara saja.

Oh ya, terkadang cerita yang ada pada tayangan lawak itu, hampir tidak ada. Sampai-sampai sang aktor sutradara pun berteriak, “Benaaanggg Merahhhh!!!” Awalnya sih memang lucu tapi lama kelamaan, ah bosen dan kesian saya melihatnya.

Kedua, lawakannya itu tidak pada tempatnya. Saya bukan orang yang paham benar tentang agama dan saya juga bukan orang yang sangat religius—terkadang masih suka STMJ dan alkohol iya, babi enggak—tapi gini-gini saya juga masih tahu tempat, ibarat kata eling sama keadaan. Mbok ya, lagi puasa-puasa gini gak usah pukul-pukulan tho, lebih baik kan elus-elusan biar saya juga bisa menikmati dan yang lain pun juga bisa.

Beberapa tahun yang lalu saya masih menikmati kok acara-acara sahur yang tidak sepenuhnya berisi ceramah dari si Bapak-Yang-Memiliki-Nama-Sangat-Arab-Sekali. Ada sebuah tayangan yang bagus menurut saya, yang dibintangi oleh dua musisi di satu band, yang sekarang lebih terkenal sebagai presenter, yang menurut saya masih berbobot, yang apalagi nih ya, yang juga ada sesi ustadznya, yang dan lain-lainnya. Saya sangat menanti-nantikan acara itu malah. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya bangun sudah mepet-mepet imsyak, pada tahun itu saya bangun jauh sebelum imsyak, hanya agar tidak ketinggalan acara sahur tersebut.

Ketawa ya, saya ketawa, dan setelah itu pada saat sang ustadz masuk untuk memberikan ceramah ya saya dengarkan, saya angguk-anggukkan kepala, saya masukkan ke telinga sembari tertawa. Ya lumayan lah pokoknya tayangan itu.

Namun berbeda dengan tahun ini. Kedua orang tua saya—yang suka melarang saya nonton film Warkop sembari mengatakan, “Ih itu apaan sih, film udelnya kemana-mana”—memberikan lontaran kalimat, “Sekarang acara puasa kok jadi gini ya.”

Setuju ayah-bunda, saya setuju dengan orang tua saya. Jujur saya merindukan acara-acara lawak yang okey. Lawak... sip, tapi yang aship! lah. Dan tidak usah berbicara mengenai lawak di bulan puasa saja, lawak yang aship! di bulan lainnya juga saya rindukan, namun lawakan yang bisa dibilang smart. Seperti komentar-komentar juri di acara pencari bakat lawak, “Lawakan grup kamu ini, lawakan yang smart lah pokoknya, salut untuk kelian.” (walaupun saya sendiri tidak tahu apa maksud si juri karena saya tidak menemukan di mana letak lawakan yang smart itu).

Teman saya juga pernah memberikan contoh pelawak yang smart, dan sayangnya contoh yang dia berikan itu berasal dari luar nagari, Jerry Seinfeld nama pelawaknya. Berkali-kali teman saya itu berkata bahwa Jerry Seinfeld itu memberikan lawakan yang smart. Berkali-kali pula dia memperagakan gesture Jerry Seinfeld yang sama.

Jadi gimana caranya melawak? Itu yang akan menjadi pertanyaan saya untuk di masa-masa mendatang. Saya hanya bisa berharap saya bisa melawak bukan dari tingkah pola kebodohan saya, bukan dari cara jatuh saya, bukan dari kata-kata kasar saya, bukan dari ejekan-ejekan saya, tapi dari kalimat-kalimat yang ciamik namun lucu dan sesuai dengan keadaan, waktu serta tempat. Mungkin saya harus bisa melawak yang hanya dengan membaca kalimatnya saja orang bisa tertawa. Seperti saat saya membaca lawakan Srimulat, “Para penumpang mohon maaf pesawat tidak bisa terbang dikarenakan setirnya lepas.”

No comments: