Thursday, January 4, 2007

Saya Suka Nia Dinata

Pernyataan itu sama sekali tidak dibuat-buat dan benar-benar terjadi pada diri saya. Secara terang-terangan dikeluarkan dari hati saya, tanpa basa-basi, tanpa rasa malu dan tanpa keraguan. Hal ini jarang saya alami, ini adalah kali pertama saya rasakan dan lakukan. Entah kenapa untuk kali ini, saya berani untuk bicara dengan lantang dan keras. Kalau saja bisa diteriakan melalui tulisan diatas secarik kertas maya, sudah pasti saya akan berteriak hingga mengeluarkan gema.

Pertanyaannya adalah kenapa?

Jawabannya, menurut saya jujur saja secara fisik dia menarik dan sudah pasti cantik. Karena kulitnya yang putih, rambutnya yang hitam dan kacamata yang menempel pada matanya. Sebuah perpaduan wujud fisik sempurna di mata saya. Memang itu bisa dikatakan sebagai kriteria standar pria melirik perempuan, tapi setidaknya saya bisa jujur bahwa yang membuat pria, lebih khusus lagi saya, melirik pasti dikarenakan keadaan fisik, bohong kalau ada yang berkata, “karena kepribadian saya bisa melirik perempuan”. Shit cat… Bagaimana caranya kepribadian bisa menarik perhatian, jika kepribadian itu belum pernah berkenalan dengan tangan kita? Fisik adalah utama!

Benih-benih ketertarikan fisik bereskalasi menjadi sebuah tindakan saya. Tindakan selanjutnya adalah jawaban dari rasa penasaran saya terhadap dia yaitu berusaha membuka percakapan dengannya. Untuk sekedar menggoda atau mungkin bisa lebih dari itu. Awalnya saya sangat takut untuk memulai tapi dengan prinsip it’s now or never akhirnya saya bisa membuka dan melakukan percakapan dengan menggunakan medium dunia maya. Berterima kasihlah saya pada kemajuan teknologi yang memungkinkan saya untuk bergerak.

Hambar dan kaku menyambut pergerakan pertama. Saya bertanya lalu dia menjawab apa adanya. Sedikit sekali kata-kata yang dia ucapkan. Tidak pernah dia mengeluarkan kata tanya dari mulut, tangan dan hatinya. Sangat-sangat tertutup dan pendiam, dasar selebritis. Yang membuat saya bingung adalah alur di etape awal ini bergerak sangat lamban dan dalam periode waktu yang cukup panjang. Wajar, karena dia juga tidak banyak tahu tentang saya walaupun secara formal kami sudah saling berkenalan atau bilang saja saling tahu. “Tidak pernah berbicara dan sepertinya bertegur sapa juga jarang.”

Rasa penasaran dan rasa suka membombardir isi kepala saya menyebabkan saya ingin terus berusaha membuat percakapan yang maksimal. Usaha demi usaha terus mengalir dari niat saya hingga akhirnya saya mendapatkan titik temu untuk menuju percakapan yang menarik. Kunci yang saya pikir tidak akan pernah saya dapatkan. Khayalan lah yang membuat perubahan pada dialog saya dengan dia. Semenjak itu saya senang dan girang karena tembok kekakuan sedikit demi sedikit bisa saya kunyah dan hancurkan. Dia mulai mengirimkan pertanyaan pada saya.

Dari dunia maya saatnya merambah ke dunia pergulatan ibu jari atau pesan-pesan singkat. Orang bilang, bila seseorang sudah berani mengirimkan pesan singkat dengan konteks isi yang menanyakan keadaan, maka tingkat pendekatan akan meninggi. Saya anggap itu sebagai sesuatu yang benar, karena untuk membalas pesan yang kita sampaikan seseorang rela mengeluarkan digit-digit pulsa, mengeluarkan biaya. Kembali lagi, sebuah awal menjadi suatu hal yang sangat menakutkan bagi saya. Ketakutan pesan saya tidak berbalas dan ketakutan dia akan bercerita pada teman-temannya. Setelah lama berpikir, akhirnya pesan itu terkirim dan saatnya untuk menunggu balasan darinya. “Lama… kok tidak ada balasan… lihat waktu baru satu menit… tapi kok terasa sangat lama…” Tiba-tiba ada getaran dan ada suara. Lihat dari siapa… dan wohohoho pesan terbalas. Manfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya. Terus kirim pesan, berusaha agar dia mengatakan kalimat tanya… tapi…susah… sama seperti pertemuan dunia maya di periode awal. Ternyata semua memang ada prosesnya, tidak bagus dan tidak seru juga kalau sifat instan menyelimuti. Pantang mundur dan selanjutnya tidak tertebak, pertanyaan walaupun sedikit akhirnya terlontar juga dari dia untuk saya.

Serangan lebih intensive dengan melebarkan sayap memanfaatkan penemuan dari Alexander Graham Bell = Telepon. Mendengarkan suaranya dengan notasi-notasi yang sopan dan lembut sekali pasti akan sangat-sangat menenangkan hati. Kali ini awal pembicaraan adalah tentang masa kecil. Dia pun bercerita banyak dan mulai mempercayakan saya untuk mendengarkan aib-aib masa kecilnya. Bukan aib juga menurut saya tapi biarlah yang penting pembicaraan mengalir. Dalam hati berkata, “ini adalah progres yang baik”. Terlebih lagi, cara saling bercengkrama tukar suara ini lebih bisa membuka pintu kepribadiannya hingga saya katakan, ”Ga nyangka ternyata Anda berbeda dan you’re a woman with a splendid character.”. Bodohnya saya adalah kenapa saya hanya bisa menelepon saja, tidak pernah berani untuk mengajaknya kencan. Ini adalah salah satu kelemahan saya sebagai seorang rumahan yang jarang mengenal tempat-tempat kencan yang baik. Satu lagi ketakutan dan ketidak beranian yang ada dalam diri ini adalah “Jika saja saya bisa memenangkan sayembara kencan bersama dia apakah para penggemarnya akan merasa jengkel dan marah kepada saya lalu mengatakan saya ini pengkhianat?”. Tapi lambat laun saya usir semua aura negatif itu dan saya pun mulai mengetahui tempat yang bagus dan sudah merencanakan waktu serta tempat yang tepat. Sayangnya…Kelamaan! Pesan mulai dibalas dikemudian hari… Pesan mulai tidak berbalas... Lihat ke depan rumahnya terpampang papan alamat yang tertulis in a relationship street number 22, Jakarta, Indonesia.

Sudah lah memang seorang selebritis tempat tinggalnya bukan di bumi melainkan di bintang. Teknologi mungkin bisa mencapai tempat tinggalnya tetapi kaki ini tidak bisa berjalan melewati batas. Mendaki gunung saja lelahnya bukan main, apalagi loncat ke bintang. Tidak akan mungkin! Dan saya juga kurang berteknologi.

Sekarang saya hanya bisa berkata, “Mba Nia Dinata, terima kasih atas obrolan yang menarik, terima kasih atas semua pertanyaan yang diajukan kepada saya, terima kasih telah bisa memberikan kepercayaan kepada saya, dan terima kasih membuat saya merasa bahwa Mba Nia Dinata sedikit tertarik pada saya. Walau pada akhirnya entah kosmonot atau astronot yang sangat hebat mana telah sampai terlebih dahulu di hunian Anda. Tapi walau begitu masih bisakah saya menjadi salah satu cast dari film dokumenter tentang biografi Anda. Jika masih, boleh kah saya berperan menjadi ….”

Apa intinya, kurang lebih seperti ini; Ragu-ragu + cupu + kurang pergaulan + kelamaaan !!!! = selamat tinggal mimpi, bangun…bangun…hari sudah siang.

Tetap semangat (menghadapi) selebritis selanjutnya. Dan tetaplah mengkhayal.

No comments: