Thursday, April 1, 2010

Mau Yang Lembut Atau Yang Keras?

Tampaknya hari ini hari yang sangat melelahkan, kenapa begitu? Ya karena hari ini diawali dengan suatu hal yang menurut saya kurang enak di hati. Awal hari yang membuat jantung berdegup kencang. Bukan… bukan berdegup karena kehadirannya. Tapi berdegup kencang karena komentar-komentar yang sejak sehari sebelumnya saya sudah sangka akan datang.

Gila memang. Atau tidak gila. Hanya perasaan saya saja. Yang pasti tadi ketika saya baru memasuki ruangan kantor, sang bos sudah memanggil. Lalu kemudian masuk lah saya ke ruangan bos besar. Apa yang saya sangka akan terjadi, benar terjadi.

Mungkin ada baiknya bila saya menceritakan kejadian semalam sebelum acara gegap gempita di pagi hari datang. Malam sebelumnya, saya dan seorang rekan, kerja lembur hingga malam menuju pagi. Di malam itu saya sendiri mengaku kehilangan arah kepada rekan saya itu. Setelah dia mendengar pengakuan saya, dia hentikan sejenak pekerjaannya untuk mengganti status di situs pertemanan.

Dari situ saya sudah sulit sekali untuk berpikir. Kalau boleh saya mencari alasan layaknya judul lagu band Malaysia “Mencari Alasan”, maka alasan yang saya utarakan adalah pikiran saya sudah tersita semenjak datang sebuah pekerjaan yang tiba-tiba. Karena itu pulalah pekerjaan yang mestinya bisa saya diskusikan dulu dengan bos saya jadi tidak dapat terlaksana.

Saya, di malam itu, hanya bisa diam dan memikirkan sedikit demi sedikit kata. Keluar sih keluar itu kata-kata, tapi ya saya sendiri merasa kurang yakin dengan kata-kata yang saya lontarkan. Saya pun sudah pasrah, akan apa yang dapat terjadi besok.

Nah di keesokan harinya ini, seperti yang saya tadi tuliskan. Kritikan yang sudah saya kira benar terlempar ke muka saya. Malah bukan ke muka saya saja, juga ke muka bos saya. Malu beribu malu. Perasaan itu pun lalu campur aduk dengan perasaan rendah diri dan tidak percaya terhadap diri sendiri.

“Gila! Mo jadi apa nih gua? Kaya gini aja kok susah?”

Wah pokoknya itu yang namanya jantung bergetar seperti seseorang yang sedang lari marathon 18 KM. Sadis ya? Tapi tidak apa-apa. Itulah hidup.

Kadang saya suka tidak bisa terima dengan hal itu. Kadang pula saya sangat bersyukur saya mendapatkan hal-hal semacam itu. Karena dengan begitu saya bisa belajar. Diingatkan secara keras agar itu kejadian menempel di kepala.

“Wah lo jangan melarikan diri dari kenyataan gitu dong! Kalo lo lari kaya gitu, kapan lo bisa belajarnya. Anggep aja ini kaya pembelajaran.” Ucap seorang kawan kepada rekan kerja saya yang lain.

Ucapan dia itu memang benar adanya. Tidak semua orang bisa mengajari orang dengan sabar. Bukan sabar juga kali ya. Hmmm…pokoknya tidak semua orang bisa dengan santai, sabar, mengayomi, santun dalam memberikan pelajaran. Ya seperti guru-guru di sekolah saja. Ada yang galak, ada yang penyabar, ada yang tidak bisa mengajar, ada cuek banget, dan segala macemnya.

Teknik pengajaran yang lumayan membuat hati atau jantung berdebar-debar, malah sudah saya temui semenjak saya duduk di bangku Sekolah Dasar. Pada saat itu ada beberapa guru yang saya nilai cukup galak. Kegalakan guru itu juga masih wajar, menurut saya. Pasalnya, itu guru jadi marah karena ada hal yang membuat marah.

“Jeduk!” kalau tidak salah kepala teman saya dijedotin ke tembok. Setelah ditarik jambang kanannya teman saya. Kenapa dia mendapat perlakuan seperti itu? Mungkin ada yang bisa menebak? Silahkan saja…

Saya coba kasih petunjuk. Saya dan teman saya sedang duduk di bangku SD. Kejadian itu terjadi di dalam kelas. Terus selang beberapa lama kemudian teman saya itu dibawa ke ruang kepala sekolah.

“Klepak!” bunyi tamparan, sebagai bentuk hadiah dari Kepala Sekolah.

Sudah ada yang bisa menebak? Mungkin tidak, karena saya sendiri tidak memberitahukan petunjuk yang jelas.

Langsung saja. Teman saya itu membawa majalah asoy, Penthouse, ke sekolah. Mungkin pada awalnya dia ingin memamerkan barang syur, yang saya tidak sempat lihat waktu itu, ke teman-teman saya. Tapi karena dia terlalu antusias, guru pun menjadi objek yang dia harus pamerkan. Ya sudah, akhirnya diberikan pelajaranlah kawan saya itu.

Intinya sih pengajaran yang baik itu bisa dilakukan dengan banyak cara kali ya. Bisa keras, bisa juga lembut. Sekarang mana yang jadi pilihan saya?

Monday, March 29, 2010

Was-Wes-Wos Kanan-Kiri Ujian!

Saya adalah satu dari seribu milyar orang di dunia ini, yang pernah atau sering menjalani ujian dalam kehidupan. Baik itu ujian tertulis untuk sekolah atau ujian tidak tertulis untuk kehidupan sehari-hari. Capek rasanya bila sedang menjalani masa-masa ujian itu dan saya yakin semua orang juga berpendapat yang sama dan merasakan hal yang sama.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat mendengar gonjang-ganjing tentang permasalahan ujian. Untuk kali ini ujian yang dimaksud adalah ujian nasional! Jika saya masih duduk di bangku sekolah sudah pasti kata ujian nasional itu adalah kata yang amat sangat membuat saya takut setengah mati. Mungkin jika mau dicari persamaannya dalam kehidupan saya sekarang ini, kata itu akan semenakutkan kata, “Idenya jelek!!!”

Memang benar begitu adanya. Dulu waktu saya masih sekolah, mau itu Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama, jika sudah datang waktu untuk EHB dan sejenisnya, wuih bukan main dakdikduknya hatiku ini. Segala macam harus dipersiapkan demi mendapatkan hasil atau nilai yang baik. Belajar tanpa kenal lelah! Belajar… ada kali ½ jam… selebihnya tidur pulas sampai pagi.

Keesokan harinya pasti semua yang dipelajari semalam, hilang tak berbekas. Alhasil saya hanya bisa melongok, menatap ke segala arah—kebanyakan sih ke arah atas seakan-akan saya sedang berpikir padahal tidak!

Itu pada saat saya SD atau SMP. Lain halnya ketika saya duduk di bangku SMA. Kalau waktu saya SMA sih, ujian tidak begitu menakutkan. Pasalnya setiap kali mau ujian, dari kelas satu sampai kelas tiga, pasti saja secara tiba-tiba datang suatu pencerahan.

Kertas-kertas kecil seukuran telapak tangan atau mungkin lebih kecil lagi, berseliweran dari satu tangan ke tangan yang lain. Kertas kecil itu berisi huruf-huruf A, B, C, D ,E. Isinya tidak lain dan tidak bukan adalah jawaban soal ujian—itu lho ujian catur wulan, lupa saya namanya apaan.

Nah semenjak itu, saya sih santai-santai saja kalau sudah mau menjelang pekan ujian. Saya yakin lembaran-lembaran itu akan datang ke tangan saya. Jadi saya tidak perlu belajar lagi, cukup mencontek apa yang ada di tangan saya itu. Hasilnya, ya gak tahu juga saya, karena tidak ada satupun hasil dari ujian yang pernah dibagikan. Tapi yang pasti syukur Alhamdulillah saya selalu berhasil naik kelas, walaupun dengan nilai yaa secukupnya ajalah.

Entah kenapa pencerahan semasa SMA itu semakin meningkat saja. Lama-kelamaan saya dan teman-teman tidak lagi mendapatkan kertas-kertas berisikan lima huruf istimewa, karena kami semua tidak lagi membutuhkan itu. Karena kami pada saat itu, langsung mendapatkan kertas soal dalam bentuk fotocopy! Dan itu datangnya sehari sebelum pelaksanaan ujian.

Malam sebelum pelaksanaan ujian, kami pun belajar dengan giat. Mencocokkan soal dengan jawaban langsung dari buku. Kami mengingat-ingat apa soalnya dan apa jawabannya. Jadi seumpama soal dibolak-balik, diacak-acak urutannya ya tidak masalah tidak seperti sebelumnya.

“Eh ini ada bocoran nih! Lo catet dah, tapi liat-liat dulu. Lo cocokin bener apa engga itu jawaban.” Ucap seorang kawan

“Tenkyu-tenkyu, bentar gua catet dulu jawabannya.” Tanggap yang lainnya.

Tidak ada lagi tuh adegan seperti itu, karena kami memiliki kertas soal yang lengkap dengan kop surat departemen terkait di atasnya. Kalau pada awal-awal kami mesti memastikan dengan cara mengurutkan jawaban dengan soal—apabila sesuai maka lanjut saja kalau tidak mending distop!—nah kalau sudah ada soalnya sih santaaiii…

Saya rasa yang kedua ini lebih baik dari yang pertama. Karena dengan begitu kita atau saya bisa belajar terlebih dahulu. Kalau yang pertama mah, boro-boro belajar! Nyentuh buku aja ogah! Tinggal liat aja ke kertas kecil di tangan, di hapusan, di pulpen atau di mana ada tempat untuk menyelipkan kertas di situ bakal ada kertas bocoran.

Tiba-tiba saja melintas di kepala saya, waktu ketika saya ulangan biologi. Pada saat itu, biologi adalah salah satu dari semua pelajaran IPA yang sulit saya mengerti. Walaupun itu hafalan, tapi tetap saja saya sulit menerimanya. Ya biosforalah, ya monokotillah, ya testoteronlah, dan segala macamnyalah. Karena hal itu pulalah akhirnya saya membuat suatu contekan.

Strateginya seperti ini, bahan-bahan yang kira bakal keluar di ulangan itu, saya catat di buku fisika. Nah pas pada hari H, itu buku fisika saya letakkan di bawah meja. Pada hari H, guru yang matanya tidak pernah berhenti berotasi itu, secara sengaja melihat saya yang sedang menunduk dan melihat ke bawah meja. Dia pun datang menghampiri saya.

“Kamu ngapain? Ayo keluarin bukunya!” Perintah sang guru.

“Ini bu…” Jawab saya sambil mengeluarkan buku fisika saya.

Mungkin si guru siteng juga kali ya, karena ia mendapatkan saya melihat buku fisika bukan buku biologi.

“Ngapain sih kamu??”

“Ini bu, pulpen saya bocor. Saya mo coret-coret di buku ini…”

Dan saya berhasil mengelabui dia. Terus bagaimana dengan hasil ulangan saya? Sepertinya sih sama saja. Gak bagus juga.

Kembali lagi ke masalah ujian. Nah pada saat Ebtanas inilah, kami semua tidak mendapatkan pencerahan kembali. Awalnya sih, katanya ada beberapa orang anak yang berhasil mendapatkan bocoran. Tapi setelah lama ditunggu ternyata mereka semua tertipu. Bukan hanya tertipu soal tapi juga tertipu uang. Kalo enggak salah sih lima juta ilang! Mereka mengeluarkan uang banyak hanya untuk kertas soal ujian tahun lalu.

Mungkin karena hal-hal seperti itulah, saya dan ia selalu menganggap bahwa mimpi yang ceritanya tentang waktu sekolah, apalagi pas ujian adalah salah satu mimpi buruk! Saya sungguh gak mau mengalami masa-masa itu, gak ada enak-enaknya! Padahal ujian yang saya hadapi sekarang itu lebih berat. Belum ditambah dengan bumbu racikan yang membuat ujian itu terasa lebih gurih. Maunya teriak, cuman nanti dibilang cupu! Kalau dipendam malah jadi runyam bikin ketombe di kepala jadi muncul! Weleh-weleh!

Kalau sudah gini, saya berpikir jadi selama ini saya disekolahkan agar saya siap menghadapi ujian di atas kertas, bukan ujian sesungguhnya. Menghadapi ujian yang kemungkinan besar ada bocorannya. Seandainya ujian-ujian kehidupan itu ada bocorannya, saya pasti jadi bisa lihai menghadapi was-was-wos kanan-kirinya.

Sunday, December 13, 2009

Drama King

Entah kenapa sepertinya kebanyakan orang atau setidaknya orang-orang yang pernah saya amati, gemar untuk mengeksplorasi sisi gelapnya. Dari mana saya mendapatkan pandangan seperti ini? Ya jelas dari karya-karya mereka...

"Wah ini video bikinan temen gue nih, hebat juga dia bisa jadi finalis." ucap seorang teman.
"Tentang apaan tuh?" tanya saya.

Belum sempat teman saya menjawab dengan seketika saya yang baru melihat sekelibatan langsung menyambar.

"Isinya gloomy2 gitu ya, nuansa gelap amat..."

Teman saya pun mengiyakan dan dari situlah pendapat yang saya lontarkan di atas bermulai.

Saya kemudian seperti berpikir ke dalam diri saya, tidak ke orang lain. Karena setelah dipikir-pikir, saya pun seperti apa yang saya lontarkan, gemar bermain-main di daerah yang gelap.

Dahulu ketika waktu-waktu awal saya bekerja untuk pertama kalinya, seorang teman pernah mengungkapkan hal yang kurang lebih serupa.

"Wah waktu dulu si editor yang edit tulisan loe ngomong sesuatu tentang loe gara-gara tulisan loe... dia bilang, 'Wah ini temen loe sama kaya gue nih. Tulisannya gelap amat. Ceritanya juga gelap bener. Sama kaya gue dulu.' Gitu katanya."

Saya pun tidak berasa sendirian di dunia ini.

Entah kenapa saya memang bisa lebih lepas dan bermain-main jauh dengan khayalan kegelapan saya. Mendramatisir keadaan-keadaan yang negatif. Membesar-besarkan penderitaan. Meluluh lantahkan kesenangan dan senyuman. Pokoknya kalau digambar di kanvas itu tulisan-tulisan saya, warna yang dominan ada gelap, bisa jadi hitam, merah gelap, dan sedikit saja goresan putih atau kuning.

Baru saja saya melihat status seorang kawan di sebuah situs pertemanan. Dia menuliskan sesuatu yang berbau gelap tapi tidak sesangar gelapnya musik metal. Dia tuliskan bagaimana hidup yang cukup sengsara dengan ditutupi oleh fisik yang gembira.

Ya! Saya pernah menuliskan hal-hal yang seperti itu. Persis seperti itu. Lagi-lagi hal yang berbau kegelapan tapi dalam hal ini bumbui dengan tema percintaan.

Terus, beberapa hari yang lalu setelah lama saya tidak menulis, beneran menulis pake tangan, saya kembali menuliskan sesuatu yang negatif, berbau kesedihan. Mungkin karena topik yang dilemparkan juga berbau negatif, kehilangan.

Kalau sudah gitu sih, ya mau ga mau kan saya menuliskan topik kehilangan dengan amat teramat sedih dan negatif. Padahal kalau dipikir-pikir topik kehilangan itu bisa saja dikembangkan menjadi sesuatu yang positif.

Dan benar saja. Ternyata si penggagas acara wednesday writer ini memang bermaksud seperti itu. Bahwa tidak semua kehilangan akan berbau negatif, kesedihan dan lain-lainnya. Bisa saja sesuatu yang menyenangkan seperti kehilangan penyakit, kehilangan mobil rongsokan dapetin mobil baru.

Nah hal-hal yang saya sebutkan diatas berimbas pada pekerjaan saya. Pekerjaan yang mengharuskan saya untuk menyampaikan sesuatu yang positif. Tidak jarang hasil dari khayalan saya masih berbau negatif dan secara tidak sadar, atau saya yang malas menghayal lagi, langsung saja saya tuliskan di selembar kertas.

Hasilnya... pekerjaan saya ditolak oleh sang klien.

"Ini kan iklan, harus yang berbau yang positif-positif gitu ya... jangan ada yang iri-iri gini. lebih ke yang heboh menyenangkan aja..."

Huuuh... ternyata dua-dua materi yang saya ajukan gak ada satu acan yang nempel di hati si klien.

Ya sudah... Emang udah saatnya nih saya menghilangkan segala ke-gloomy-an, kesok-darkside-an saya dan segala embel-embel yang berbau seperti itu demi kemajuan pekerjaan saya. Sudah saatnya saya menghentikan peranan "Drama King" dalam diri saya.

Ahuehuyheuhuy.....!!!!

Monday, September 28, 2009

Mencoba Melawak Dengan Setir Lepas…

Tidak semua orang pandai melawak, jangan kan “pandai melawak”, “bisa melawak” pun menurut saya tidak banyak orang yang bisa. Apa cuman saya saja ya yang berpikiran seperti itu, hanya karena saya tidak bisa melawak.

Saya rasa iya… memang itu salah satu alasan kenapa saya mengemukakan pernyataan itu. Tapi saya yakin tidak hanya saya yang berpendapat seperti itu. Saya yakin orang lain juga dapat menyetujuinya, karena pendapat saya itu pasti ada benarnya juga dong, tidak salah seratus persen. Buktinya ya saya sendiri ini dan ada beberapa teman juga sih yang sepengetahuan saya sukar untuk bisa melawak.

Susah… susah sekali saya melawak, yang ada kalau saya mencoba melawak, orang-orang di sekitar saya hanya terdiam dan terbengong melihat ke arah saya. Garing kalau orang-orang bilang. Pernah saya mencoba melawak tapi hasilnya... ya seperti yang saya tuliskan tadi. Teman saya malah berkata sambil terbingung-bingung, “Ha?? See…riuss… lu….?...?” Tapi walaupun begitu saya masih bisa bersyukur, pasalnya ia masih suka tertawa bila saya memberikan lawakan-lawakan garing kepadanya.

Ada beberapa teman yang berkata kepada saya bahwa, kalau saya sedang melawak dengan sedang serius tidak ada bedanya, mimik muka saya selalu saja serius. Mungkin karena dahulu, ketika SMA saya lebih sering mengernyit ketimbang tersenyum, jadinya ya kebawa-bawa sampai kapan pun jua.

Saya berpikir kalau saya melawak dengan muka serius adalah suatu hal yang lumrah, karena setiap orang pasti memiliki ciri lawaknya sendiri. Namun, ternyata eh ternyata ciri lawak yang berusaha saya tonjolkan ini sama sekali tidak membantu saya untuk sukses melawak. Bahkan yang terjadi adalah sebalik, gagal maning-gagal maning dan lebih parah lagi gatot alias gagal total.

Bicara soal melawak saya jadi teringat dengan bulan puasa kemarin. Sepanjang bulan puasa kemarin, otak saya dan mata saya penuh karena dijejali dengan berbagai tayangan lawak. Baru pas lebaran saja, acara lawak itu sedikit teralihkan karena kehadiran tayangan Live Concert-nya Michael Jackson. Mulai dari sahur hingga berbuka, semua isi tayangan di teve, melulu menyajikan tayangan ketawa-ketiwi. Beda dengan beberapa tahun yang lalu, saat Bapak-Yang-Memiliki-Nama-Sangat-Arab-Sekali menghiasi layar kaca.

Tapi kalau boleh saya jujur, tayangan-tayangan lawak yang ada pada saat sahur itu membuat saya merasa miris. Saya rasa sih tayangan itu tidak pada tempatnya dan tidak membuat saya tertawa terbahak-bahak, selain masih merasa ngantuk juga karena lawakan tersebut tidak masuk di kepala saya. Wah, apa jangan-jangan saya sudah menjadi bapak-bapak dewasa yang konservatif ya?

Mungkin lebih baik saya jelaskan saja alasannya.

Pertama, lawakannya itu hanya menyuguhkan pelawak-pelawak saling memukul satu sama lain. Saling menghancurkan property yang ada. Saling mendorong hingga lawan mainnya jumpalitan teu pararuguh. Kalau orang bule bilang lawakannya ini lawakan slapstick. Slap sama dengan tampar, stick sama dengan kayu, jadinya lawakan tampar-kayu.

Lawakan model itu, sangat dilarang oleh kepala kelompok saya di kantor. Cheap, Corky atau Corny kata dia... atawa Crunchy ya, lupa saya. Yang pasti ide orang-orang jatuh karena satu atau dua perempuan ditolak oleh dia dan harus diganti. Alhasil karena kemampuan lawak saya di bawah rata-rata, akhirnya treatment lawak langsung diserahkeun kepada bapak sutradara saja.

Oh ya, terkadang cerita yang ada pada tayangan lawak itu, hampir tidak ada. Sampai-sampai sang aktor sutradara pun berteriak, “Benaaanggg Merahhhh!!!” Awalnya sih memang lucu tapi lama kelamaan, ah bosen dan kesian saya melihatnya.

Kedua, lawakannya itu tidak pada tempatnya. Saya bukan orang yang paham benar tentang agama dan saya juga bukan orang yang sangat religius—terkadang masih suka STMJ dan alkohol iya, babi enggak—tapi gini-gini saya juga masih tahu tempat, ibarat kata eling sama keadaan. Mbok ya, lagi puasa-puasa gini gak usah pukul-pukulan tho, lebih baik kan elus-elusan biar saya juga bisa menikmati dan yang lain pun juga bisa.

Beberapa tahun yang lalu saya masih menikmati kok acara-acara sahur yang tidak sepenuhnya berisi ceramah dari si Bapak-Yang-Memiliki-Nama-Sangat-Arab-Sekali. Ada sebuah tayangan yang bagus menurut saya, yang dibintangi oleh dua musisi di satu band, yang sekarang lebih terkenal sebagai presenter, yang menurut saya masih berbobot, yang apalagi nih ya, yang juga ada sesi ustadznya, yang dan lain-lainnya. Saya sangat menanti-nantikan acara itu malah. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya bangun sudah mepet-mepet imsyak, pada tahun itu saya bangun jauh sebelum imsyak, hanya agar tidak ketinggalan acara sahur tersebut.

Ketawa ya, saya ketawa, dan setelah itu pada saat sang ustadz masuk untuk memberikan ceramah ya saya dengarkan, saya angguk-anggukkan kepala, saya masukkan ke telinga sembari tertawa. Ya lumayan lah pokoknya tayangan itu.

Namun berbeda dengan tahun ini. Kedua orang tua saya—yang suka melarang saya nonton film Warkop sembari mengatakan, “Ih itu apaan sih, film udelnya kemana-mana”—memberikan lontaran kalimat, “Sekarang acara puasa kok jadi gini ya.”

Setuju ayah-bunda, saya setuju dengan orang tua saya. Jujur saya merindukan acara-acara lawak yang okey. Lawak... sip, tapi yang aship! lah. Dan tidak usah berbicara mengenai lawak di bulan puasa saja, lawak yang aship! di bulan lainnya juga saya rindukan, namun lawakan yang bisa dibilang smart. Seperti komentar-komentar juri di acara pencari bakat lawak, “Lawakan grup kamu ini, lawakan yang smart lah pokoknya, salut untuk kelian.” (walaupun saya sendiri tidak tahu apa maksud si juri karena saya tidak menemukan di mana letak lawakan yang smart itu).

Teman saya juga pernah memberikan contoh pelawak yang smart, dan sayangnya contoh yang dia berikan itu berasal dari luar nagari, Jerry Seinfeld nama pelawaknya. Berkali-kali teman saya itu berkata bahwa Jerry Seinfeld itu memberikan lawakan yang smart. Berkali-kali pula dia memperagakan gesture Jerry Seinfeld yang sama.

Jadi gimana caranya melawak? Itu yang akan menjadi pertanyaan saya untuk di masa-masa mendatang. Saya hanya bisa berharap saya bisa melawak bukan dari tingkah pola kebodohan saya, bukan dari cara jatuh saya, bukan dari kata-kata kasar saya, bukan dari ejekan-ejekan saya, tapi dari kalimat-kalimat yang ciamik namun lucu dan sesuai dengan keadaan, waktu serta tempat. Mungkin saya harus bisa melawak yang hanya dengan membaca kalimatnya saja orang bisa tertawa. Seperti saat saya membaca lawakan Srimulat, “Para penumpang mohon maaf pesawat tidak bisa terbang dikarenakan setirnya lepas.”

Friday, September 18, 2009

Bir Iya Babi Engga

Lebaran sebentar lagi dan apakah saya sudah menjalankan bulan Ramadhan ini dengan sebaik-baiknya? Saya sih berharap iya. Namun, tidak tahu juga.

Seorang kenalan tadi bertanya kepada saya perihal bulan puasa ini.

"Gimana puasa udah ada yang batal belom?" tanya dia.
"Belom mas..." jawab saya.
"Alhamdulillah yah."
"Ya ga tahu juga sih mas. Kalo gak makan dan gak minum sih enggak..."
"Ya kalo perkara itu sih enggak ada yang tahu."

Dari percakapan singkat tersebut, saya kemudian sedikit merenung. Mungkin saja puasa yang saya jalankan ini belum benar-benar terlaksana dengan baik. Namun, kalau boleh saya mengajukan pembenaran, setidaknya saya sudah berusaha untuk menjalankan apa yang saya tahu tentang puasa. Beberapa rukun puasa yang saya harap saya lakukan dengan baik.

Katanya sih, seharusnya orang itu setelah lebaran atau setelah menjalani bulan Ramadhan akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Nah bagaimana dengan saya?

Sejujurnya saya masih begitu-begitu saja. Masih banyak hal-hal yang saya langgar dan masih banyak juga hal-hal yang saya anggap benar, dengan segala dalih, untuk saya lakukan. Walaupun begitu, saya masih tetap merasa ada juga perubahan yang saya jalani menuju ke arah yang lebih baik, biar sedikit.

Keyakinan saya adalah semua orang dapat berubah begitu juga dengan saya. Hanya yang menjadi permasalahan dalam diri saya adalah kesulitan untuk berubah 180 derajat. Saya merasa hal ini lumrah, karena ya memang sulit tapi bukannya tidak bisa untuk dilakukan.

Seperti halnya apa yang dilakukan oleh seorang teman saya.

Teman saya ini, waktu kecilnya bandel bukan main. Sampai-sampai seluruh teman-teman saya yang mengenal dia di masa kecil pun menyetujui pernyataan ini. Segala macam hal mulai dari aksi mengintimidasi ala anak kecil sampai hal-hal yang berbau porno dan melecehkan. Namun, satu hal yang cukup membuat teman-teman saya terperangah adalah ketika dia ijin untuk melaksanakan shalat.

"Haah??? Lo shalat nih sekarang?" tanya seorang teman.

Teman saya yang terkenal bandel itu pun membalas dengan tersenyum tanpa memberikan penjelasan apa-apa dan dengan santai tetap melaksanakan shalat meskipun mendapat tanggapan yang berbau seperti cibiran tersebut.

Ya orang dapat berubah walaupun sedikit demi sedikit karena setelah itu kami kembali bercanda menjurus ke arah pornografi dan bahkan prostitusi. Ada yang bilang 'jadi gak usah pake gelang', 'jadi calon istri loe yang nomer berapa nih' hingga 'jadi anak-anak loe semuanya kesebar di kota nih'. Mendengar hal itu kami semua hanya bisa tertawa karena menganggap semua itu adalah sebuah bahan canda.

Saya berharap saya dapat meminimilasir kesalahan, ketidak-benaran, ketidak-patuhan dalam hidup saya. Karena terkadang saya suka tersindir sendiri ketika seseorang bertanya kepada saya...

"Ini babi loh... Loe gak makan babi kan?"
"Enggak lah babi kan haram." jawab saya.
"Lah bukannya loe pernah minum-minum?"
"Nah kalo minum bir iya tapi makan babi engga."

Monday, August 3, 2009

Dasar Orang-orang Ga Punya Jati Diri!


Bingung bukan kepalang saya, ketika seorang senior menceramahi saya tentang jati diri bangsa Indonesia hanya karena baju yang saya pakai. Saya tidak pernah menyangka desain baju saya ini berdampak, atau dapat menjadi topik bahasan yang sungguh luas bahkan sangat dalam.

Ketika itu saya sedang memakai t-shirt dengan desain tokoh fuhrer, Adolf Hitler. Saya memakai t-shirt itu karena pertama t-shirt itu dibelikan oleh ibu (bukannya hendak menyalahkan ibu) dan kedua karena saya sendiri memang senang dengan desainnya serta ukurannya yang pas di tubuh saya.

“Itu gambar siapa?” Tanya sang senior berkepala botak itu.

“Hehehe… ini Asmuni.” Canda saya.

Saya melontarkan jawaban dengan maksud bercanda dan jawaban tersebut sebenarnya saya dapat dari seorang teman yang mengkomentari baju saya, “Wah baju lu ada Asmuni-nya tuh.”

Ternyata eh ternyata, canda saya berujung menjadi sesuatu yang sangat serius dan membuat saya hanya bisa tersenyum simpul.

“Lu kenapa coba pake baju itu? Lu tahu ga artinya apa? Ada lambang Nazi-nya segala lagi.” Tanya senior saya kembali.

Belum sempat saya menjawab bahkan belum terpikir apa jawaban yang akan saya beri, senior saya itu terus memberikan pertanyaan-pertanyaan hingga akhirnya dia menjelaskan tentang jati diri bangsa.

“Sekarang ini anak-anak muda udah keilangan jati dirinya. Kaya lu ini lah. Pake baju yang lo ga tau apa artinya.”

Saya masih dalam posisi terbujur kaku di lantai dan menatap kepala botak-hitamnya yang sedang berada di atas tubuhnya yang dia dudukkan di sebuah kursi. Teman saya pun melakukan hal yang serupa dengan saya: duduk manis serta tertawa seperlunya.

Teman saya ini lebih beruntung dibandingkan saya, pasalnya, dia bukan lah orang yang menjadi objek pembicaraan melainkan saya. Perasaan saya saat itu menjadi tidak keruan karena saya berpikir mengapa bisa sampai sejauh ini. Saya pun merasa dihakimi dan menerima sangkaan-sangkaan yang senior saya lontarkan karena saya sendiri merasa dia memang benar.

Senior saya melanjutkan ceritanya.

“Sekarang anak-anak pada gaya-gayaan makan di Mcd. Padahal, nih Amerika sana yang makan gituan tuh supir-supir truk! Di sini gayanya udah kaya orang kaya aja!”

Wah saya menjadi semakin bingung. Dia tidak bisa dibantahkan apalagi karena saya tidak punya argumen yang kuat untuk menandingi pembicaraannya.

“Lu tahu gak arti tuh lambang buat orang-orang Jerman aslinya!? Itu tuh sama aja kaya lambang palu arit di sini tahu gak! Kalo lu kesana pake baju ini, bisa habis kali!”

Wuih, pembicaraan kok mulai masuk ke topik sejarah kelam Indonesia. Saya lemah terhadap topik ini. Pokoknya sepanjang waktu itu saya lemah lah. Entah lah saya ingin berbicara tapi kok ya tidak bisa. Mana senior saya itu, kalau sudah nyerocos tidak mengenal titik. Terus saja dia berbicara sepanjang nafasnya yang tidak pernah berhenti.

Seorang senior lainnya masuk ke dalam ruangan. Si senior kepala botak itu pun sedikit menghentikan penjelasannya dan menoleh ke arah orang yang baru saja memunculkan dirinya di pintu.

“Coba lu tanya dia tuh yang pernah tinggal di Jerman. Eh, kalo ada orang yang pake baju kaya gini kira-kira di sana nasibnya bakal kaya apa tuh?”

Masih saja dia menyangkutkan saya dalam pertanyaannya.

“Ya paling dihabisin. Orang-orang sana tuh kesel kali ngeliat tuh lambang.” Jelas senior saya yang pernah tinggal di Jerman.

Waduh, jawabannya memperparah posisi saya kala itu, semakin semerawut lah saya jadinya. Ini itu salah, begini begitu salah. Ingin rasanya saya langsung membuka baju di tempat. Tapi karena rumah masih jauh dan penumpang bus akan melihat serta menilai saya, maka saya urungkan niat baik saya itu.

Pembicaraan 15 menit tersebut seakan-akan menjadi pembicaraan 15 jam. Saya lupa kenapa pembicaraan itu akhirnya berakhir, yang pasti setelah itu saya dapat bernafas lega dan saya berpikir berkali-kali ketika hendak memakai t-shirt yang sama. Tidak hanya itu, pembicaraan tersebut juga menyadarkan saya betapa oon-nya saya memakai sesuatu yang tidak saya ketahui apa artinya, apa pesan yang sebenarnya ingin disampaikan.

T-shirt itu tampaknya tidak pernah saya pakai kembali dan saya tidak tahu dimana keberadaannya saat ini. Mungkin t-shirt tersebut sudah berpindah tangan. Dan resek-nya saya mungkin t-shirt itu sudah dipakai oleh orang-orang yang membutuhkan baju dalam hal ini orang-orang yang kurang mampu. Untuk hal itu saya meminta maaf, karena tidak ada maksud untuk menyerupakan nasib si pemakai baju dengan nasib saya yang habis diceramahi oleh senior saya.

Semenjak itu, setiap saya melihat orang yang memakai baju dengan lambang serupa saya berkata dalam hati, “Dasar orang-orang ga punya jati diri!”

Tuesday, July 28, 2009

Jalanan Adalah Kehidupan


Bagi saya bus kota adalah salah satu tempat terbaik untuk digelarnya sebuah festival musik. Pasalnya, seringkali saya menemui musisi-musisi jalanan yang daya tampilnya luar biasa, baik dari segi kualitas vokal, keahlian memainkan alat musik sampai kecanggihan dalam aksi liuk-liku, gerak tubuh.

Mengapa saya bilang festival musik?

Penjelasannya kurang lebih seperti ini. Setahu saya, yang namanya festival musik biasanya terdiri dari berbagai macam performer. Nah, serupa kan. Di dalam bus kota sudah pasti musisi yang tampil itu berbagai macam. Jadi wajarlah kalau saya bilang ini adalah salah satu festival musik.

Baru saja saya membuktikan kembali pernyataan yang saya buat di atas. Sebuah pagelaran festival musik yang menurut saya luar biasa atau setidaknya dapat menghibur perjalanan pulang saya.

Dan tadi bukanlah kali pertama saya merasakan festival musik bus kota yang ciamik. Seperti yang saya sudah tuliskan tadi, sebenarnya banyak musisi-musisi jalanan yang mungkin keahliannya serupa atau bahkan bisa saya pastikan bahwa kemampuan dan keahlian mereka dalam membawakan lagu melebihi musisi-musisi yang berseliweran di teve. Lebih, karena penjiwaan mereka maksimal. Lebih, karena mereka mengasah kemampuan dengan otodidak (mungkin lho karena kondisi mereka yang jauh dari kata mewah). Lebih, karena mereka tampil apa adanya--tanpa efek, tanpa mixer.

Seperti yang tadi saya alami.

Tadi, ketika saya baru saja duduk di dalam bus, festival dimulai dengan seorang musisi jalanan yang bermodalkan alat musik okulele. Hanya saja untuk musisi abal-abal yang satu ini, dia masih jauh dari kata bagus dan saya sebenarnya membenci musisi yang tampil pertama kali tadi. Musisi jalanan pertama tampil dengan menggendong anak bayi dan ini membuat saya amat kesal namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa kasihan dengan bayi tersebut dan saya merasa jengkel dengan musisi yang menggendongnya.

Sudahlah saya rasa musisi pertama ini disingkirkan saja, karena secara performa dia juga tidak ada bagus-bagusnya (sotoy juga gua bak kritikus musik ternama aja).

Lanjut ke Musisi kedua.

Musisi kedua ini seringkali saya temui jika menaiki AC76. Cuman bedanya, tadi dia sedikit beralih dari penampilan biasanya. Kalau yang lalu-lalu-lalu-lalu dia tampil hanya dengan secarik kertas untuk membawakan puisi, tadi dia tampil dengan sebuah gitar untuk membawakan beberapa lagu.

Dia pun menuju area pertunjukan, bus runaway stage biar lebih canggihnya. Seperti biasa kalimat pembuka pun dia lontarkan.

"Selamat malam... bla... bla... Saya merasa kasihan dengan bocah yang tadi. Tidak pantas dia dibawa-bawa ngamen. Itu saya, entah anda-anda sekalian." ucap sang musisi menanggapi performer sebelum dia.

Setelah memberikan beberapa patah kata, dia memulai aksinya. Dengan suara khas yang serak dia bernyanyi tentang Indonesia. Nada, lantunan, dan melodinya saya coba simak dengan baik. Saya merasa terhibur selain karena lagunya yang nikmat juga terhibur dengan semangat nasionalimenya.

Mungkin kalau saya benar-benar berada di panggung pertunjukan, saya akan memberikan applause kepadanya setiap dia selesai bernyanyi. Penghayatannya bagus, berkali-kali dia memejamkan mata untuk mendapatkan jiwa lagu yang ia bawakan.

Setelah dia bawakan dua lagu dengan durasi yang cukup panjang, diberikan lah kata-kata penutup olehnya. Sopan dan tidak menakutkan kata penutupnya. Perkataannya membuat saya merasa aman, jauh dari rasa takut akan penjahat yang suka berkeliaran di atas bus kota. Dia bahkan mengingatkan kepada seluruh penumpang agar tetap waspada dan jangan mudah terkecoh dengan penampilan luar seseorang karena bisa saja seseorang itu adalah seorang penjahat.

Musisi yang satu itu, menurut saya memang benar-benar seorang yang baik. Pasalnya, beberapa saat sebelum tadi dia juga pernah mengingatkan penumpang akan hal yang serupa. Beda halnya dengan musisi jalanan yang pernah saya temui di bus metro mini 72.

Kalau yang saya temui di metro mini 72 itu, si musisi tampak sangat urakan dan kasar. Hal itu saya dibuktikan oleh dirinya sendiri yang ketika ngedumel ia melontarkan kata, "Ko*&$l!!!" Mungkin kata itu terlontar karena dia kesal tidak ada penumpang yang memberinya uang, si salah satu musisi 72 tersebut. Tapi kan tidak semestinya juga.

Kembali ke AC 76. Sesampainya di blok m, musisi kedua tukar posisi dengan musisi berikutnya. Kali ini dua orang sekaligus yang tampil di bus runaway stage. Satu berperawakan tambun, satu lagi berperawakan kurus kerempeng. Mereka berdua masing-masing memegang satu gitar.

"Selamat malam, mungkin tadi anda-anda sekalian sudah dihibur dengan rekan saya. Kini saatnya kami menghibur anda." ujar sang pria tambun.

Mereka pun memulai lagu pertamanya. Baru saja awal-awal lagu, saya sudah merasa terkagum-kagum dengan mereka. Pasalnya, mereka memulai lagu dengan tarikan-tarikan melodi serta rhythm yang saling padu padan. Bunga Seroja lah yang mereka bawakan.

Si musisi tambun tampaknya jadi lead vocal dan si musisi kurus kerempeng jadi lead gitar serta backing vocal.

Si musisi tambun ini tampak sangat menikmati permainannya, membuat dia bergerak-gerak mengikuti irama lagu. Beruntung bus runaway area sedang tidak ramai, jika ramai mungkin sudah banyak orang yang jidadnya terantuk oleh neck guitar dia.

Sama seperti musisi yang kedua, si tambun pun berkali-kali memejamkan matanya untuk menghayati, untuk menjiwai musik tersebut. Suaranya melengking dengan volume yang keras. Sementara di sisinya, si kurus kerempeng di beberapa kesempatan ikut menyumbangkan suara untuk mendapatkan nada harmoni.

Si kurus tidak berhenti sampai di situ saja. Dia juga tidak mau kalah dengan si tambun. Dia tunjukan keahliannya dalam memetik gitar. Melodi-melodi yang--menurut saya si musisi kacangan--syuulit dia tampilkan kepada penumpang bus yang ada. Saya... Ya terpukau lah. Jago dia! dan setelah diingat-ingat, ternyata saya pernah melihat dia sebelumnya. Memang si kurus ini memiliki keahlian yang luar biasa.

Mata saya kembali mengarah ke si tambun yang asyik memejamkan mata, berteriak dan bergerak sesuai irama. Tidak beberapa lama kemudian terdengar suara, "Pletaaak!!!" Ternyata sangking bersemangatnya si tambun dalam memetik gitar, sampai-sampai salah satunya senarnya putus. Namun kejadian itu tidak membuat dia berhenti bermain. Terus saja dia bermain sampai lagunya habis.

Satu hal lagi yang saya suka dari mereka adalah aransemen lagunya. Beuh! Canggih beeut mereka, pake aransemen lagu segala. Bahkan menurut saya aransemen lagu mereka membuat lagu aslinya jadi terasa lebih hidup dan enak untuk dinikmati. Sekali lagi ingin rasanya saya bertepuk tangan cuman ya malu aja di bus tiba-tiba saya tepuk tangan sendiri. Alhasil, saya hanya menepuk-nepukkan jari ke tas sebagai gantinya tepuk tangan.

Mungkin ya, suatu saat nanti ada promotor musik yang terinspirasi dengan musisi-musisi jalanan tersebut. Mengadakan suatu pagelaran musik yang bertema "ngamen dalam bus". Isinya kurang lebih sama seperti yang biasa ada dalam bus kota. Hanya saja, para pengisi acaranya adalah artis-artis lawas dari Indonesia maupun luar Indonesia. Beeeuh bukan maen ciamik kan kalo udah gitu.

Jika memang ada, saya berharap saya dapat ikut serta dalam acara tersebut, karena saya dulu juga pernah merasakan tampil dalam bus kota. Tampil abal-abal, kacangan, payah.

Sekali lagi dan memang jika ada, mungkin harus ada beberapa tempat yang memang menampilkan musisi jalanan untuk beraksi di puluhan ribu penonton yang hadir. Bussseeeet!!!!

Jadi teringat sepenggal lirik yang pernah dibawakan oleh salah satu musisi jalan dan menurut saya liriknya itu bagus.

"Jalanan bukan pelarian, jalanan bla...bla... bla..., jalanan adalah kehidupan."